Tweet |
|
Pergantian kepengurusan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan PSSI ternyata belum juga mampu menghentikan kebiasaan membuat masyarakat bingung. Bahkan ada yang mengatakan nilai kontroversilnya jauh lebih tinggi. Kenyataannya memang demikian. Entah karena masih dalam tahap penyesuaian jabatan atau memang sengaja, hal sepelepun bisa melahirkan putusan yang agak aneh.
Sejak terpilih pada kongres luar biasa di Solo, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin dan Wakil Ketua Umum Farid bersama kabinetnya telah melakukan langkah-langkah perbaikan sepakbola Indonesia. Mulai dari ‘’pembersihan’’ PSSI, pemutusan kontrak pelatih kepala tim nasional, sampai pada rencana perombakan kompetisi Liga Indonesia yang dekat dengan kontroversi.
Rasanya itu belum cukup. Dalam putusan-putusan besar tersebut masih dibumbui dengan pernyataan atau komentar kurang penting yang makin menggandakan nilai kontroversi yang memang paling setia menemani. Bahkan ada kesan asal bunyi, tanpa memperdulikan aturan yang harus dijalankan organisasi.
Penggantian pelatih tim nasional dan pembersihan PSSI mungkin tidak terlalu dipedulikan insan sepakbola tanah air terutama klub anggota PSSI. Tapi putusan merombak total format kompetisi domestik membuat banyak klub bertanya-tanya dasar apa yang menjadi pedoman pengurus PSSI sehingga melahirkan membuat putusan yang kelewat berani?
Merombak total berarti kompetisi kita yang sudah berjalan selama ini harus kembali pada lembah dasar dan harus membangun pondasi baru. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan dibandingkan dengan berpikir bijak melanjutkan yang sudah ada dengan catatan memperbaiki semua kekurangan.
Rencana menggelar kompetisi profesional dua wilayah dengan peserta ‘’klub beruntung’’ sebagai bukti PSSI ingin kembali ke pondasi dasar. Kesannya, kompetisi yang sudah berjalan puluhan tahun dan sudah berganti nama sekian kali dianggap tidak pernah ada. Dengan format baru, otoritas penyelenggara liga seperti menganggap semua klub di tanah air setara, termasuk klub yang masih ‘’bayi’’ sekalipun. Inilah yang membuat klub yang sudah berjuang dan ‘’berdarah-darah’’ ingin naik tingkat selama puluhan tahun merasa tidak dianggap.
PSPS misalnya. Klub yang sudah berkompetisi di level tertinggi, Indonesia Super League (ISL) selama dua tahun terakhir juga sempat was-was. Karena tidak ada jaminan klub penghuni ISL musim lalu untuk tetap berada pada level yang sama musim depan.
Pantas disyukuri, karena orang-orang penting di PSSI terutama anggota komite eksekutif cepat ‘’tersadar’’ bahwa perombakan format kompetisi bukan jalan yang tepat. Rapat Jumat (16/9) melahirkan putusan baru, bahwa kompetisi sepakbola tertinggi tanah air tetap satu wilayah dengan nama dan klub peserta yang sama pada tahun sebelumnya, kecuali yang degradasi dan promosi.
Dengan putusan ini bisa dikatakan PSPS yang sudah menjadi tim kebanggaan warga Riau tetap berhak tampil di level tertinggi. Terlepas lolos atau tidaknya dalam verifikasi nanti, karena PSSI tetap akan melakukan pengecekan terhadap kelayakan klub, sesuai dengan yang disyaratkan AFC, tapi setidaknya PSPS dan klub lainnya merasa tetap dihargai sebagai klub yang sudah berjuang dari bawah.
Harapan kita, berakhirnya kontoversi format kompetisi Liga Indonesia sebagai langkah awal untuk mengakhiri kontroversi-kontroversi lainnya yang selalu mengakrabi PSSI sejak zaman dahulu kala. PSSI hendaknya lebih mengedepankan kepentingan sepakbola nasional dan membuang jauh-jauh kepentingan seseorang atau kelompok. Karena dari keinginan menyelamatkan kepentingan orang dan kelompoklah yang menjadi potensi lahirnya sebuah putusan kontroversial. Semoga kinerja PSSI semakin baik dan masyarakat semakin bangga pada sepakbola tanah air.***
Riekha
Redaktur Pelaksana